ketika keadaan mengharuskan Kita untuk menangis, tak usah berpura, menangislah. Tak semua airmata berarti lemah

Siapa yang Mencuri Mutiara?

Alkisah, terdapat seorang biarawan Buddha (bhiksu) yang sedang berpindapatta (memberi kesempatan kepada umat untuk berdana makanan) mendatangi sebuah rumah. Ada seorang perempuan tua sedang duduk di dekat meja, di atasnya terdapat untaian mutiara.
Perempuan tua itu melihat sang bhiksu dan menyapanya dengan hangat. Lalu, ia menyuruh menantunya untuk membawa mangkuk milik sang bhiksu ke dapur dan mengisinya dengan makanan.
Dengan antusias, ia mengantar sang bhiksu memasukki rumah. Setelah mempersilakan sang bhiksu untuk duduk, ia meninggalkan ruangan untuk mengambil sesuatu. Ia kembali dengan segera setelah menantunya keluar dengan membawa mangkuk bhiksu yang sudah penuh terisi dengan makanan. Pada saat itu, perempuan tua tersebut tiba-tiba berteriak, "Mutiaraku hilang! Mutiara putihku yang paling berharga hilang!"
Melihat ibu mertuanya dengan cemas mencari mutiaranya, sang menantu bertanya kepada bhiksu apakah ia melihat mutiara tersebut. Sang bhiksu menjawab, "Tidak." 

Anak lelaki perempuan tua itu mendengar keributan yang terjadi dari dalam kamarnya. Ia buru-buru keluar dan memaki sang bhiksu dengan kemarahan, "Bagaimana mungkin kamu tidak melihatnya? Ibu saya menaruh mutiara itu di atas meja, dan ia bersama isteri saya hanya pergi sebentar. Jika bukan Anda yang mengambil mutiara putih tersebut, siapa lagi yang melakukannya?"

Sang bhiksu diam saja. Keheningannya membuat lelaki tersebut semakin marah. Ia mengambil sebarang kayu dan mulai memukuli sang bhiksu. Ketika hal itu terjadi, seekor angsa terus berjalan mengelilingi sang bhiksu dan tidak mau pergi. Saking marahnya, lelaki tersebut pun melayangkan pukulan kepada angsa dan langsung membunuhnya.
Saat itulah sang bhiksu berkata, "Angsa itu telah menelan mutiara putih tersebut."
"Itu tidak mungkin!" Lelaki itu tidak mau mempercayainya.
"Ketika ibumu bangkit dari tempat duduknya untuk pergi ke kamarnya, tanpa sengaja ia telah menyenggol mutiara tersebut dan menyebabkan mutiara itu terjatuh dari meja. Kebetulan angsa ini lewat, lalu ia mematuk mutiara tersebut dan menelannya."

Semua orang yang menyaksikan kejadian ini meragukan kata-kata bhiksu tersebut. Sang menantu menyarankan agar perut angsa itu dipotong untuk membuktikan kebenarannya. Ketika mereka melakukannya, mereka benar-benar menemukan mutiara dalam perut angsa.

Dengan menyesal, anggota keluarga tersebut berlutut di depan sang bhiksu dan memohon pengampunan, terutama anak lelaki perempuan tua tersebut yang merasa sangat menyesal. "Anda melihat, angsalah yang menelan mutiara tersebut. Mengapa Anda lebih memilih dipukuli daripada menyatakan kepada kami hal yang sebenarnya?" gumamnya.

Sang bhiksu menjelaskan, "Saya khawatir kalau Anda akan memotongnya untuk mengeluarkan mutiara tersebut. Tetapi, sayangnya, Anda tetap melakukannya."

----------------------------------------------------------
Pesan Master Cheng Yen:
Sang bhiksu menahan kepedihan karena kesalahpahaman dan dipukuli demi menyelamatkan jiwa angsa. Bahkan, ia mengorbankan nyawanya untuk membela binatang tersebut. Jiwa yang tidak mementingkan diri sendiri ini benar-benar patut kita hargai.
Dalam berinteraksi dengan orang lain pada kehidupan kita sehari-hari, kita harus selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan diri. Dengan cara ini, kita menguntungkan orang lain dan diri kita, juga menciptakan dunia yang dipenuhi dengan perbuatan dan niat yang baik.