LONDO IRENG (Black African) PURWOREJO.Jejak Sejarah yang Terlupakan.
Ketika saya masih kecil, ditahun-tahun ‘30-an akhir, bila saya diajak
menengok orang sakit di Zending/RSD Purworejo, di daerah Pangen (Juru
Tengah) kami melewati sebuah kompleks sebelah timur Rumah Sakit, di
sebelah kanan jalan, yang dihuni oleh “orang2 aneh”. Yang paling
menyolok adalah kulit mereka yang hitam legam, “ireng-tuntheng”,
sehingga bila ketawa kelihatan sederet gigi mereka yang sangat kontras
dengan warna kulit mereka. Kenangan saya yang terpatri dalam memori saya
tentang kompleks pemukiman itu adalah sederetan rumah-rumah gedung yang
cukup bagus dengan hiasan pohon “pisang kipas” yang banyak menghias
halaman depannya. Anak anak yang bermain di halaman depannya dengan
penampilan mereka, sungguh merupakan pemandangan yang betul-betul ajaib
dan “menakjubkan”.
Foto keluarga “Londo Ireng” di depan rumahnya di Purworejo sekitar thn
1922. Mereka termasuk Indo Afrika, karena ibu-ibu mereka wanita setempat
seperti yang nampak pada foto tsb.
Siapa mereka ini, darimana asal-usulnya, mengapa dan bagaimana mereka
bisa berada di Purworejo, sampai berkembang biak dan bermasyarakat, dan
hidup dalam kompleks perkampungan di daerah Pangen itu? Dan selanjutnya,
mengapa pada satu saat tiba-tiba menghilang hampir tanpa bekas, ibarat
kabur terbawa angin. Sungguh kisah yang menarik, dan berdasar atas apa
yang saya baca dari kepustakaan yang ada*) dan observasi lapangan secara
pribadi berikut ini adalah yang bisa diceritakan secara singkat.
Perang Diponegoro.
Bermula dari jaman Perang Diponegoro (1825-’30), Belanda “kehilangan”
sekitar 8000 tentara kulit putih, baik yang gugur dalam pertempuran
maupun korban penyakit tropis. Serdadu itu direkrut dari berbagai negara
Eropah, khususnya Jerman, sebagai prajurit bayaran. Belanda sendiri
sebagai negara kecil tidak mungkin menyediakan tentara, yang kemudian
menjadi korban, sebanyak itu. Sebagai contoh, Belanda tahun 1827
ditengah-tengah berkecamuknya Perang Diponegoro, mengirim bantuan
pasukan satu resimen terdiri dari 3000 orang tentara bayaran kulit
putih. Dua tahun kemudian resimen tersebut tinggal 1000 orang. Itulah
dahsyatnya Perang Diponegoro yang oleh Belanda dinamakan “Perang Jawa”
(Java Oorlog), perang yang paling berdarah dalam sejarah perang kolonial
Belanda, dalam jumlah korban, tenaga-pikiran dan keuangan Belanda.
Dengan berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda mulai berpikir bila nanti
ada peperangan lagi di daerah jajahannya, dari mana mereka merekrut
pasukan, disamping mahal biayanya juga adanya pembatasan-pembatasan dari
negara yang bersangkutan untuk tidak memperbolehkan warganya di rekrut
sebagai serdadu bayaran.
Kedatangan Serdadu Afrika.
Gubernur Jendral waktu itu, Van den Bosch, yang kemudian dikenal juga
sebagai arsitek tanam paksa Cultuur Stelsel, mengusulkan sebuah solusi
dengan merekrut tentara yang berasal dari Afrika Barat dari
negara-negara yang kini bernama Ghana dan Burkina Fasau. Di sana Belanda
memang memiliki pos-pos perdagangan/benteng yang kemudian dapat
dimanfaatkan untuk maksud rekrutmen tersebut. Alasannya disamping murah,
berani perang, orang Afrika dinilai lebih tahan menghadapi iklim dan
penyakit di daerah tropis.
Dengan berbagai akal dan usaha, antara lain dengan membeli budak-budak
dari raja setempat, 100 gulden per kepala, Belanda berhasil merekrut
tentara bayaran Afrika. Pengiriman terjadi dalam beberapa gelombang:
antara tahun 1831-1836, sebanyak 112 orang, tahun 1837-1841, sebanyak
2100 orang dan antara tahun 1860-1872, 800 orang. Jumlah seluruhnya
lebih dari 3000 orang, seluruhnya berstatus bujangan.
Inilah kapal Belanda pertama tahun 1831 yang membawa orang Afrika ke Hindia Belanda/Purworejo.
Serdadu bayaran dari Afrika tersebut bekerja berdasar kontrak untuk 12
tahun dan dapat diperpanjang, dengan gaji 20 gulden/bulan. Gaji 20
gulden itu masih harus dipotong angsuran untuk mengembalikan ongkos
“pembeliannya” yang 100 gulden. Mereka secara hukum berstatus sama
dengan serdadu Belanda putih, kecuali gajinya yang hanya setengahnya.
Dan untuk membedakan mereka dengan Belanda putih, mereka dinamakan
Zwarte Hollanders, Belanda Hitam, atau Londo Ireng.
Serdadu Afrika “londo ireng” bersama rekannya “londo putih”, kasih
hormat setelah terima bintang jasa atas jasa-jasanya dalam Perang Aceh,
tahun 1875.
Mereka disebar keberbagai lokasi, Semarang, Salatiga dan Solo, namun
sebagian besar ditempatkan di Garnisun Purworejo pada Tangsi Militer
Kedungkebo yang baru selesai dibangun permulaan tahun 1830-an.
Pembangunan tangsi besar dan penempatan serdadu hitam di Purworejo itu
bukan tanpa alasan. Di daerah Bagelen ini Belanda menderita banyak
kekalahan selama Perang Diponegoro dengan jatuhnya korban terbesar
diantara serdadunya, sehingga diperlukan cara khusus untuk mengatasi.
Tidak kurang dari 25 benteng dibangun diseluruh daerah Bagelen ( dari
Kedungkebo sampai ke Petanahan/Kebumen), inilah yang mereka namakan
strategi “benteng stelsel” hasil rekayasa Jendral de Kock, untuk
mengepung dan mempersempit gerak pasukan Diponegoro. Yang dekat
Purworejo antara lain adalah benteng Kedungkebo, Bubutan, Lengis. Ke
Barat Ambal dan Petanahan. Kekuatan pasukan Diponegoro menyebar
sepanjang pantai selatan Bagelen, Urut Sewu, sehingga dari dulu sejak
saya masih kecil, sampai sekarang, jalan sepanjang daerah itu dikenal
dengan nama Jalan Diponegoro.
Dengan selesainya Perang tahun 1830, Belanda menilai bahwa daerah
Bagelen adalah daerah rawan yang memerlukan perhatian khusus, mengingat
pengikut Diponegoro masih cukup banyak dan kuat. Dibangunlah tangsi
militer besar di Kedungkebo yang masih bertahan kokoh sampai saat ini.
Kemampuan militer Belanda untuk daerah Bagelen dengan sendirinya juga
diperbesar. Penempatan serdadu kulit putih dan pribumi dalam jumlah yang
besar, sekitar satu batalyon, itu belum menjamin rasa aman Belanda,
sehingga dirasa perlu untuk menempatkan serdadu Afrika sebanyak tiga
kompi, di garnisun Purworejo yang berlangsung dari tahun 1831-1872.
Prestasi Serdadu Afrika.
Uji coba serdadu Afrika tersebut dimulai di Lampung, Sumatra Selatan
yang nampak kurang memuaskan, kemudian dalam Perang Paderi di Sumatra
Barat dimana sudah nampak kelebihan orang Afrika ini, namun yang
dianggap sukses oleh Belanda adalah ikut sertanya 536 serdadu Afrika
dalam pasukan yang berkekuatan 7500 orang dalam ekspedisi ketiga
penaklukan Bali tahun 1849, (Perang Buleleng) yang berakhir dengan
ditundukkannya raja Bali setelah jatuhnya benteng Jagaraga (Singaraja).
Setelah ekspedisi berakhir sebanyak 41 orang serdadu Afrika mendapat
tanda penghargaan dan citra mereka naik tinggi dimata orang Belanda.
Setelah itu serdadu Afrika ikut aktif dalam ekspedisi ke Timor,
Sulawesi, Kalimantan dan tentu saja dalam perang Aceh. Disini seorang
perwira dalam laporannya mengatakan bahwa “orang Afrika adalah
serdadu-serdadu terbaik dalam KNIL (Serdadu Hindia Belanda)” dan
“memperhatikan bahwa orang Aceh sangat segan terhadap orang Afrika”.
Belanda tidak menutup mata terhadap prestasi dan jasa orang Afrika ini.
Mengingat kedatangan mereka berstatus “bujangan”, mereka menyalurkan
kebutuhan biologisnya dengan perempuan setempat, ada yang sekedar kumpul
kebo, namun banyak yang berujung dengan pernikahan. Mereka membangun
kehidupan rumah tangga dan sewaktu kontrak mereka habis, mereka yang
tidak ingin kembali ke Afrika, memutuskan untuk menetap ditempat dimana
mereka terakhir ditugaskan. Inilah kiranya cikal-bakal masyarakat Afrika
, khususnya di Purworejo. Mereka hidup di luar tangsi dan membaur
dengan masyarakat setempat bersama isteri penduduk pribumi dan anak-anak
turunan mereka, yang mendapat julukan Indo Afrika.
Kampung Afrikan.
Keadaan ini nampaknya menjadi perhatian pemerintah Belanda. Sejalan
dengan makin tumbuh-berkembangnya kelompok keluarga Afrika ini dan
mengingat akan jasa-jasa mereka, juga alasan praktis agar dalam keadaan
darurat bisa sewaktu-waktu dikerahkan, Pemerintah Belanda melalui
keputusannya tertanggal 30 Agustus 1859, membeli sebidang tanah di
Pangen Jurutengah yang di khususkan bagi pemukiman warga Afrika. Setiap
keluarga mendapat jatah 1.151 meter persegi untuk dibangun rumah
sekaligus lahan garapan untuk berkebun dan bertani. Dengan bantuan
pemerintah Belanda ini tumbuhlah perkampungan/hunian masyarakat Afrika
di Purworejo yang masih mempertahankan ciri-ciri identitas
keafrikaannya. Inilah satu satunya hunian masyarakat Afrika di
Indonesia, atau yang dikenal sebagai “Kampung Afrikan” di Purworejo,
yang juga menjadi acuan/tempat berkumpul bagi masyarakat Afrika dari
daerah-daerah/kota lainnya.
Yang tersisa dari kampung Afrikan di Purworejo.
Walupun mereka hidup dalam hunian khusus, namun hubungan dengan
masyarakat pribumi sekitarnya relatif berlangsung baik dan harmonis
dengan prinsip hidup berdampingan secara damai. Dan jangan dilupakan
bahwa anak/turunan mereka itu hakekatnya adalah hasil dari perkimpoian
dengan wanita-wanita setempat juga. Dalam catatan terakhir ada sekitar
25 keluarga Afrika yang terdaftar sebagai pemilik tanah/rumah dengan
jumlah warga sekitar 90 orang yang tinggal di Kampung Afrikan tersebut.
Nampaknya masyarakat Purworejo menerima keberadaan mereka secara wajar
dan ini membuktikan bahwa toleransi penduduk/masyarakat Purworejo sejak
jaman dulu memang telah teruji.
Menurut warga setempat, inilah bangunnan asli/rumah Londo Ireng Purworejo dari sedikit yang tersisa.
Oerip “mengepung” Kampung Afrikan.
Satu satunya insiden yang dilaporkan terjadi sekitar tahun 1910, sewaktu
Pak Oerip Sumoharjo, salah satu pendiri TNI, yang waktu itu berusia 17
tahun “mengerahkan” pasukan pemuda dari Sindurjan (perkampungan sebelah
barat alun-alun) “mengepung dan menyerbu” hunian orang Afrika pada suatu
senja dengan meneriakkan “Londo ireng toentheng, iroenge menthol,
soearane bindheng” (Belanda hitam legam, hidungnya besar, suaranganya
sengau). Pak Oerip yang bersekolah Belanda bersama Indo Afrika merasa
dihina oleh mereka yang mengatakan “tubuhnya kecil dan bahasa
Belanda-nya jelek”, berbeda dengan mereka yang besar dan berbahasa
Belanda bagus dan tanpa aksen. Insiden tersebut dapat diselesaikan. Ayah
Pak Oerip berjanji akan menegor anaknya, namun mereka juga minta agar
pemuda Afrika tidak akan mengulangi ucapannya.
Surutnya Kampung Afrikan.
Jatuhnya Pemerintah Hindia Belanda bulan Maret 1942, datangnya
pendudukan Jepang dan kemudian disusul dengan Kemerdekaan Indonesia
tahun 1945 adalah pertanda jaman dan berpengaruh sangat menentukan bagi
keberadaan Kampung Afrikan di Purworejo. Selama pendudukan Jepang,
kampung Afrika tidak terlalu diusik karena dianggap bukan orang Belanda,
walaupun berstatus hukum Belanda. Hanya sebahagian dari mereka yang
aktif dalam ketentaraan ditangkap dan dimasukkan dalam kamp tahanan
bersama dengan Belanda. Keadaan berubah setelah Indonesia merdeka.
Orang-orang Afrika yang memang berstatus hukum sebagai “Belanda Hitam”
digolongkan sama dengan orang Belanda dan diperlakukan sama dengan
Belanda. Kampung Afrikan di Purworejo dengan demikian kehilangan hak
hidupnya, harus dikosongkan dan penghunianya dipindahkan, sementara ke
Gombong untuk kemudian ke Jakarta/Bandung dan seterusnya di
repatriasikan ke negeri Belanda. Ini sesuai dengan keinginan mereka juga
yang menyatakan “Saya orang Belanda dan tidak ingin jadi orang
Indonesia”. Sebelumnya Bung Karno, sewaktu jadi mahasiswa di Bandung
mengatakan kepada temannya seorang Indo Afrika: “…tidak ada tempat bagi
Belanda Hitam di Indonesia Merdeka karena kalian dulu bergabung dengan
Belanda untuk berperang melawan Indonesia”.
Sejarah yang Terlupakan.
Kini, seratus delapan puluh tahun kemudian sejak pertama kedatangan
serdadu Afrika di Hindia Belanda dan seratus limapuluh tahun sejak
berdirinya Kampung Afrikan atau sekitar 67 tahun sejak pengosongan
Kampung itu, jejak-jejak keberadaan mereka di Purworejo nyaris hilang
tidak berbekas. Beberapa rumah-rumah asli yang tersisa dan tanah-tanah
yang mereka miliki telah berpindah kepemilikannya secara sah lewat
proses jual-beli kepada warga Indonesia, dan Kampung Afrikan telah
berobah menjadi kampung/hunian warga Indonesia biasa sebagimana
kampung-kampung lainnya. Tidak ada “sisa” orang Afrika di tempat
tersebut bahkan keturunannya juga sulit untuk dilacak di Purworejo. Saya
diberitahu bahwa ada keluarga keturunan Afrika di Purworejo garis
ketiga yang nikah dengan orang Timor, namun saya tidak berhasil
menemukan alamatnya. Sementara itu Mas Gunarso dari Blogger Purworejo
mengatakan bahwa salah seorang anggota keluarganya, masih kepernah Pak
De nya, ada yang punya darah Indo Afrika.
Ibu Kasman, 95 tahun, istri pensiunan Sersan KNIL, tinggal di bekas Kampung Afrikan. Banyak berkisah tentang masa lalu.
Sekarang ini keturunan mereka kadang-kadang berombongan datang dari
negeri Belanda sebagai wisatawan untuk “napak tilas” sejarah para
leluhurnya, dengan mengunjungi bekas/situs “Kampung Afrikan”, tempat
dimana nenek-kakek mereka dilahirkan dan tinggal, yang menceritakan
betapa mereka menikmati kehidupan yang bahagia waktu itu, dan melihat
Sukarno “sebagai orang yang mengusir dirinya dari surga masa mudanya”.
Apa yang sekarang dapat mereka saksikan adalah beberapa gedung asli
tempat hunian nenek-kakek mereka dan nama jalan/gang yang telah
diabadikan sebagai “Gang Afrikan I dan Gang Afrikan II”. Nama-nama
itupun tadinya sudah diganti dengan nama Gang Koplak, tempat kusir
delman ”mengombor” kuda mereka, dan hanya karena protes para sejarawan
yang didukung para penghuni, maka nama asli Gang tersebut dikembalikan
ke aslinya. Mereka juga pergi ke Kerkop (makam Belanda) dibelakang
Lembaga Pemasyarakatan, dan menemukan beberapa nisan dari para leluhur
mereka yang masih tersisa, antara lain dengan inskripsi/tulisan dalam
bahasa Belanda yang kabur dan susah dibaca:
“Disini beristirahat, Ayah kami tercinta P.de Ruiter, Lahir di Afrika
dan meninggal tanggal 4 September 1900 dalam usia 75 tahun di
Purworejo”.
Batu nisan salah seorang Londo Ireng di Kerkop Purworejo yang meninggal tahun 1915.
Itulah salah satu bukti sejarah tentang keberadaan orang Afrika di Purworejo yang tidak terbantahkan.
0 komentar:
Posting Komentar
Untuk membuat emoticon cukup ketikkan kode yang berada di atas
Budayakan berkomentar dengan sopan dan tidak mengandung SARA
Pasang foto kalian yang keren ^_^