ketika keadaan mengharuskan Kita untuk menangis, tak usah berpura, menangislah. Tak semua airmata berarti lemah

Pendiri PT.Alfo Citra Abadi



Rezeki adalah rahasia kehidupan. Yang dulu bukan siapa-siapa, bila Sang Khalik menginginkan bisa menjadi orang yang paling disapa. Paidy Lukman contohnya. Siapa sangka pria kelahiran Medan tahun 1961 yang mengawali karier sebagai salesman produk wallpaper ini, sekarang disebut-sebut sebagai juragan aluminium terbesar di Sum-Ut lewat PT Alfo Citra Abadi (ALCA).

Mengorek masa lalunya, selain menjadi salesman, Paidy dulu juga memberi les privat anak-anak SD hingga SMP di Medan. Untuk bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, lelaki yang aktif sebagai atlet renang dan polo air di sebuah klub remaja Medan itu sempat pula berjualan celana jins di Pasar Ramai.

Momentum perubahan hidupnya dimulai ketika PT Inalum (Indonesia Asahan Aluminium), perusahaan peleburan aluminium yang berlokasi di Kualatanjung, Asahan, Sum-Ut melakukan ekspansi pada 1980-an. Paidy yang gemar membaca itu mencium adanya kesempatan berbisnis aluminium. Kebetulan, kehadiran Inalum di daerah itu memang sangat penting karena ialah perusahaan satu-satunya yang memproduksi ingot atau aluminium yang masih berbentuk balok hasil elektrolisasi alumina (bubuk aluminium yang diolah dari batu bauksit).

Menyadari pengetahuannya tentang aluminium tidak banyak, Paidy kemudian melamar untuk magang kerja di Inalum, sembari membuka toko kecil yang menjual aluminium. Keberanian dalam mengambil keputusan mengantarkan dirinya dipercaya menjadi agen ekstrusi. Saat magang itulah Paidy mempelajari sistem dan proses produksi, jaringan, pemasaran, dan sebagainya. Akhirnya pada 1985, bermodal uang seadanya Paidy yang dilahirkan dari keluarga sederhana memberanikan diri membuka Toko Alumex, yang ukurannya lebih besar dari toko sebelumnya.

Toko itu bukan cuma memperjualbelikan produk pihak lain tapi juga produk Paidy sendiri, yakni pintu sorong menggunakan kombinasi besi dan aluminium. Ia memberi nama produk ini pintu Alfo (singkatan dari aluminum folding gate). Memang, ia membuatnya masih dalam skala dan kapasitas industri rumah tangga, tanpa mesin jumbo. Bahan baku profil untuk pintu Alfo saat itu diperoleh dari salah satu pabrik aluminium ekstrusi di Medan.

Tak disangka-sangka produk ini laris manis. Sejak itu, Alfo menjadi beken dan namanya dijadikan cikal bakal perusahaannya, PT Alfo Citra Abadi, pada 1990. Kala itu, pintu-pintu Alfo dipasarkan door to door ke setiap proyek perumahan. Sukses menjual pintu Alfo membuat kompetitor juga ikut-ikutan membuat produk serupa. Menghadapi ini, Paidy segera mendaftarkan merek Alfo ke Direktorat Hak Paten Departemen Kehakiman pada 1986. Kemudian, pintu Alfo ditingkatkan inovasinya dengan menggunakan teknologi powder coating. Hasilnya, tekstur warna pintu Alfo mirip dengan kulkas.

Bahkan, Paidy juga mengembangkan beragam pintu yang mengadopsi pendekatan feng shui untuk rumah dan kantor. Berkat kepiawaian mengutak-atik pintu, di Medan hingga saat ini nama Paidy pun dikenal dengan julukan Dewa Pintu.

Selain itu, banyak order berdatangan untuk pemasangan rangka bangunan berbahan aluminium, termasuk permintaan dari pusat perbelanjaan di Medan seperti Medan Plaza, Olympia, Thamrin Plaza, gedung perkantoran Uniland dan Citibank, serta beberapa gedung di Jakarta. Setelah omsetnya meningkat, ALCA pun mulai menambah karyawan untuk mendukung peningkatan produksi.

Untuk mencapai kesuksesan, Paidy rajin menimba ilmu dengan berkeliling ke Singapura, Australia, Italia dan Cina. Ia mengaku berusaha belajar dari sesama pebisnis, mengikuti pelatihan, mengembangkan inspirasi untuk berinovasi, dan mempelajari tren pasar dua-lima tahun ke depan.

Dalam merekrut karyawan, ia berupaya mempekerjakan tenaga kerja berkualitas dengan latar belakang pendidikan yang beragam. Para karyawannya dikirim pula mengikuti pelatihan dan seminar ke luar negeri, misalnya kursus statistical process control, seminar mengenai quality control. Bahkan Sekjen Yayasan Gemilang Sesama (organisasi penganut Konghucu) Sum-Ut ini juga kerap mengundang tenaga ahli dari luar negeri untuk mendidik dan melatih karyawannya. “Tapi, sebelum diterima (sebagai karyawan), saya tekankan dulu soal kejujuran. Karyawan yang tidak jujur diberi peringatan dan pengarahan. Seleksi karyawan itu sangat penting, karena karyawan merupakan aset dan investasi,” kata salah seorang pendiri Rumah Sakit Lions, Medan ini.

Toh, selama perjalanan mengembangkan bisnisnya, Paidy mengaku tidak luput dari cobaan. Salah satunya, saat harga minyak bergerak naik pada 2003, ia memutuskan untuk membangun fasilitas gasifikasi batu bara sebagai pengganti minyak dan listrik. Setelah empat bulan pemakaian, mesin gasifikasi meledak dahsyat dengan tingkat kerugian cukup tinggi. Namun Paidy tidak kapok. Sebaliknya, ia dan stafnya berupaya mempelajari mesin gasifikasi lagi, sehingga tahun 2005 mesin itu dibangun kembali dan bisa beroperasi dengan baik sampai sekarang.

Sementara itu, dalam menghadapi pesaing kuatnya saat ini, Cakra Compact dan Damai Abadi, Paidy mengaku tetap bisa santai. Menurutnya, semasa awal menjalankan bisnis ini, para pesaing selalu memandang sebelah mata, karena mereka pemain lama di sektor ini. Namun Paidy berusaha membuat terobosan. Misalnya dengan membuat produk yang variatif untuk berbagai industri, sebisa mungkin menghindari segmen usaha yang telah digarap pemain lain, dan sebagainya.

Kini tak terasa usahanya telah berjalan lebih dari dua dekade. Jika dikalkulasi, total investasi yang telah dibenamkan mencapai US$ 50 juta. Saat ini ALCA memproduksi 100% aluminium batangan, terbagi atas 30% untuk industri, 30% kebutuhan rumah tangga, 20% untuk konstruksi, dan 20% segmen lainnya. Jumlah karyawannya sekitar 800 orang. Ini untuk mengimbangi kapasitas produksi yang telah mencapai 50 ton/hari.
Konsistensi lebih dari 20 tahun membuat ALCA punya jaringan pasar yang luas. Keberhasilan ini tampaknya juga tak lepas dari gaya bisnis Paidy yang suka terjun langsung ke lapangan. Berkat kerja kerasnya, kini ALCA menjelma menjadi perusahaan aluminium terintegrasi yang padat modal sekaligus padat karya. Sekarang, ALCA mengolah bahan baku aluminium dari bentuk ingot ke billet (bahan setengah jadi), lalu diproses menjadi aluminium batangan (aluminium ekstrusi dengan merek Alfo). Selain itu, dengan bahan aluminium ALCA juga memproduksi barang jadi untuk rumah tangga (perabot, aneka jenis tangga, pintu, jendela, dan lainnya), serta barang jadi untuk industri (heat sink, alat perkantoran, suku cadang elektrik, kap lampu, karoseri, dan sebagainya).

Rupanya produk-produk ALCA tak hanya disukai konsumen dalam negeri tapi juga luar negeri. Produk berbahan aluminium ALCA telah diekspor ke Jepang, Singapura, Malaysia, Australia, Cina. Sasaran berikutnya memasuki Eropa dan Amerika Serikat. Sebelum menembus pasar ekspor, Paidy mengaku telah melakukan survei dan riset pasar ke negara tujuan dan memperkenalkan produk melalui website perusahaannya. Untuk bersaing dengan produsen lain dari luar negeri, Paidy mengedepankan faktor mutu. Tingginya permintaan ekspor membuat nilai ekspor ALCA pernah mencapai US$ 500 ribu per tahun. Namun hantaman krisis finansial global membuat ekspornya turun 60%.

Dalam memperkenalkan produknya, ALCA memasang iklan di media massa (setiap bulan anggarannya mencapai Rp 100 juta). Perusahaan ini juga rajin mengikuti pameran di berbagai daerah. Lalu, untuk memuaskan konsumen, juga diberlakukan sistem tukar tambah produk lama dengan produk baru sehingga meringankan pembeli.

Khusus dalam hal menggarap pasar di Medan dan sekitarnya, Paidy mengaku terjun ke lapangan untuk menggali informasi mengenai segmentasi pembeli aluminium ekstrusi, tren pola produk aluminium ekstrusi, dan arah pembangunan daerah setempat. Klien yang disasar berasal dari lingkungan industri pabrikasi seperti industri parabola, kelistrikan, kontraktor, desainer rumah dan bangunan, serta perkebunan. Paidy mengaku di setiap kota besar memiliki jaringan distributor untuk pemasaran produk berbahan aluminiumnya. Dalam menjalin kerja sama dengan distributor, Paidy menekankan etos kerja, karakter pengelola, dan sistem manajemen yang diterapkan mitranya.

Rudy Yanto, salah seorang distributor produk aluminium ekstrusi dan mitra dagang produk jadi ALCA di Pekanbaru mengaku telah menjalin hubungan bisnis sejak 1994. Menurut Rudy, kendati muncul banyak pemain baru di bisnis aluminium, tidak membuat produk ALCA tertinggal. Ia menyebutkan, setiap ada produk baru, ALCA selalu mengirim sampel. Di sini, target omset tidak terlalu dipaksakan. Namun, lanjut Rudy, karena produknya berkualitas dan variatif, serta didukung harganya yang kompetitif, produk aluminium ALCA selalu laku terjual di Pekanbaru. “Hubungan kerja sama ini bersejarah, apalagi Paidy sangat terbuka dalam mendengar permasalahan dan turut memikirkan solusi bagi distributor. Ke depan, diharapkan aluminium ALCA tetap menjaga kualitas mutu karena pemain lokal baru juga terus bertambah,” Rudy menuturkan.

Hal serupa diakui Susanto Lim, salah seorang konsumen produk aluminium ekstrusi ALCA untuk kebutuhan industrinya. Susanto memiliki pabrik pembuatan parabola yang menggunakan aluminium ALCA sebagai bahan baku. Hubungan kerja sama mereka telah terjalin selama 7 tahun. Ia mencontohkan, ALCA memberi toleransi jika harga aluminium mengalami perubahan. ”Jadi, antara konsumen dan produsen terbina win-win solution,” ungkap Susanto. “Karena kualitas aluminium ALCA telah dipercaya menjadikan rangka parabola kami sukses didistribusikan ke seluruh Indonesia, bahkan pernah diekspor,” kata pemilik Toko Bintang Parabola ini menambahkan.

Dalam mengembangkan bisnisnya, Paidy juga menjalankan sistem waralaba untuk penjualan produk jadinya, lewat Divisi ALCA K&I (Kreasi dan Inovasi). Caranya, calon investor hanya perlu menyetor dana jaminan sejumlah Rp 500 juta untuk periode lima tahun. Hingga kini ALCA K&I telah memiliki 9 cabang yang tersebar di Jakarta, Pekanbaru, Bali, Surabaya dan Medan. ”Saat ini semua produksi aluminium ALCA dijual ke berbagai daerah lain baik yang berbentuk ekstrusi maupun produk jadi,” ujar suami Woen Chin ini.

Semangat juang Paidy membesarkan perusahaan diakui Candra Utama, VP Commercial Banking Center Bank Mandiri Cabang Medan. Candra menyebutkan, selaku kreditor pihaknya menilai bisnis aluminium Paidy cukup prospektif. Apalagi ALCA bergerak dari hulu ke hilir sehingga memiliki nilai tambah. “Pak Paidy termasuk orang yang gigih. Beliau mau turun ke lapangan untuk mempelajari teknisnya secara langsung,” ujar Candra. Penilaian terhadap prospek bisnis aluminium ini tak lepas dari portfolio guidance yang dimiliki Bank Mandiri. Menurut Candra, ALCA memenuhi segala persyaratan kredit yang mempertimbangkan segala risiko bisnis, di antaranya target pasar, kapasitas produksi, bahan baku, keuangan, dan karakter Paidy sebagai debitor.

Akibat krisis global yang dirasakan dampaknya sejak Oktober 2008, Paidy mengaku mendiversifikasi produk dan fokus pada pasar di dalam negeri. Secara internal, pihaknya melakukan efisiensi dan menggenjot produksi ke tingkat kapasitas penuh sehingga bisa menekan biaya produksi.

Kendati merasakan dampak krisis, Paidy yang menggemari seni minum Chinese tea ini tetap melakukan pengembangan bisnis. Sejak 2008, perusahaannya malah menyiapkan diri untuk bisa memproduksi coil/sheet/foil aluminium, dan direncanakan pada akhir 2009 berproduksi komersial. Jika tahun 2010 perekonomian global membaik, Paidy yakin bisnisnya akan mendapat peluang besar.

Mengomentari keberhasilannya, Paidy menyebutkan dirinya memercayai lima fase kesuksesan. Fase pertama (usia 15-25 tahun) adalah fase belajar dengan bekerja tanpa pamrih. Fase kedua (25-35 tahun), mulai terjun serius dalam bisnis. Fase ketiga (35-45 tahun), ia konsentrasi menyusun strategi bisnis dan merekrut banyak karyawan dengan menekankan aspek kejujuran, kerajinan, dan keahlian. Fase keempat yang dimulai pada usia 45 tahun, ia sibuk mendorong perusahaannya melakukan penetrasi pasar. Dan, fase kelima, ketika memasuki usia 50 tahun, ia harus segera mempersiapkan generasi penerus.

Yang menarik, kesibukannya di bisnis ternyata tak mengurangi minatnya aktif di organisasi kemasyarakatan. Sejak remaja, ayah dua putra dan dua putri ini telah sibuk berorganisasi baik di bidang olah raga, kerohanian maupun kemasyarakatan. ”Bagi kalangan etnis Tionghoa, guan xi (relasi) merupakan sesuatu yang penting untuk pengembangan diri,” katanya.